Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Inilah Sebab Seseorang Diperbolehkan untuk Tayamum

Ketika hendak melaksanakan shalat, kita diwajibkan untuk suci dari hadats kecil ataupun hadats besar. Nah, alat bersuci ada dua, pertama air dan kedua tanah/debu. Bersuci dengan debu atau yang disebut dengan tayamum hanya boleh jika tidak memungkin menggunakan air. Oleh karena itu, pada artikel ini kita akan sama-sama mempelajari sebab-sebab tayamum.

Sebab Seseorang Diperbolehkan untuk Tayamum

penyebab tayamum


Sebab-sebab diperbolehkannya tayamum ada 3 (tiga), yaitu:

Tidak ada air

Tidak ada air baik di tengah-tengah perjalanan atau di tengah-tengah mukim.

Musafir memiliki 4 (empat) keadaan, yaitu:

a. Musafir meyakini tidak adanya air di sekitarnya, misalnya ia sedang berada di tempat-tempat berpadang pasir. Maka ia langsung bertayamum dan tidak perlu mencari air karena mencari air baginya percuma.

b. Mungkin ada air di sekitarnya, baik kemungkinannya besar atau kecil. Dalam keadaan seperti ini, musafir secara pasti wajib mencari air terlebih dahulu.

Dalam mencari air, disyaratkan dilakukan setelah masuknya waktu sholat karena tayamum adalah toharoh dhorurot sedangkan tidak ada dhorurot dalam keadaan yang masih dimungkinkannya melakukan toharoh atau imkan toharoh dengan air sebelum masuknya waktu sholat. 

Apabila ada orang lain yang mencarikan air dan ia tidak diizini maka belum mencukupi dari tuntutan kewajiban mencari air.

Cara mencari air adalah seseorang memeriksa tempat tinggalnya karena barang kali disana ada air yang tidak ia sadari dan ketahui. 

Apabila air tidak ditemukan di tempat tinggalnya maka ia melihat kanan, kiri, depan, dan belakang jika memang tempat yang ia tempati itu dataran rata. Hendaklah ia lebih memeriksa di tempat- tempat ramai dan tempat dimana burung-burung berkumpul.

Apabila tempat yang ia tempati bukanlah dataran yang rata maka dirinci;

Apabila ia kuatir akan keselamatan dirinya sendiri atau hartanya sekalipun itu sedikit atau hanya berupa harta ikhtisos, seperti; kulit bangkai, atau kuatir tertinggal oleh rombongan, atau kuatir waktu sholat akan habis jika ia mondar-mandir mencari air, maka dalam keadaan seperti ini tidak diwajibkan mondar-mandir mencari air karena kekuatiran yang semacam ini saja memperbolehkannya bertayamum ketika diyakini adanya air, apalagi hanya sekedar ketika disangka ada tidaknya air, tentu lebih utama diperbolehkan tayamum atas dasar kekuatiran tersebut.

Apabila ia tidak mengalami kekuatiran di atas, maka diwajibkan atasnya mondar-mandir sampai batas dimana ia bisa meminta tolong dan bertanya-tanya kepada orang-orang. 

Batas tersebut bisa berbeda-beda jaraknya tergantung datar tidaknya tanah yang ditempati dari segi naik turunnya.

Apabila ia bersamaan dengan keramaian orang maka ia  wajib bertanya kepada mereka sampai merata atau sampai waktu sholat hanya tersisa waktu yang hanya mencakup lamanya melakukan sholat menurut pendapat rojih. 

Menurut qiil, ia wajib bertanya kepada mereka meski sampai waktu sholat telah keluar. Tidak diwajibkan bertanya kepada mereka satu persatu, tetapi cukup menyerukan pertanyaan kepada mereka, “Siapakah diantara kalian yang mau memberiku air atau menjual air kepadaku  dengan harganya?” 

Diwajibkan menyebutkan kata air dan harga. Apabila orang-orang yang menetap mengutus orang-orang kepercayaan untuk mencari air maka sudah mencukupi semuanya dari tuntutan kewajiban mencari air.

c. Musafir meyakini adanya air di sekitarnya. 

Keadaan ini memiliki 3 (tiga) tingkatan, yaitu;

1) Air berada di jarak tempat dekat dimana orang-orang yang menetap mencari kayu, rumput, dan menggembala kesana. 

Oleh karena itu, musafir wajib berjalan menuju dimana air berada dan tidak diperbolehkan baginya bertayamum kecuali apabila ia kuatir atas apa yang telah disebutkan sebelumnya, yang selain kuatir atas barang ikhtisos dan barang yang wajib diserahkan untuk memperoleh air, baik harganya atau upahnya. 

Muhammad bin Yahya berkata, “Ukuran jarak disini adalah kurang lebih ½ farsakh. Ukuran jarak ini lebih jauh daripada ukuran jarak air yang keberadaannya masih bersifat sangkaan.”

 2) Air berada di tempat yang jauh sekiranya andaikan seseorang pergi kesana maka waktu sholat akan habis. 

Dalam tingkatan ini, menurut madzhab, ia langsung boleh bertayamum karena ia tidak mendapati air pada saat itu juga.

Apabila seseorang dipastikan harus menunggu datangnya air disertai waktu sholat pasti akan habis maka ia tidak boleh bertayamum sama sekali pada saat itu, berbeda dengan masalah apabila ia mendapati air dan ia kuatir kehabisan waktu sholat jika berwudhu (baca juga: rukun wudhu) maka ia tidak boleh bertayamum menurut madzhab, karena ia bukanlah orang yang tidak mendapati air pada saat itu.

3) Air berada di tempat sejauh antara tingkatan pertama dan kedua, artinya, di tempat yang jaraknya sedang, sekiranya jaraknya tersebut melebihi jarak yang ditempuh oleh orang-orang yang menetap untuk mencari kayu, menggembala, dan lain-lain, dengan kondisi waktu sholat yang tersedia akan mepet jika jarak tersebut ditempuh.

Dalam tingkatan ini, terdapat perbedaan pendapat. 

Menurut madzhab, diperbolehkan bertayamum karena seseorang dianggap sebagai orang yang tidak mendapati air pada saat itu, sedangkan menempuh tempat dimana air berada akan menyebabkan bertambahnya kesulitan.

d. Air berada di tempat dimana musafir berada, akan tetapi disana ada banyak musafir lain yang juga menginginkan air tersebut, misalnya; air tersebut berada di sumur, lalu air tersebut tidak dapat diambil kecuali dengan perantara alat, sedangkan disana hanya tersedia satu alat saja, atau karena tempat menggunakan air tidak muat kecuali hanya satu orang saja, maka dalam dua keadaan ini terdapat perbedaan pendapat ulama. 

Pendapat rojih mengatakan bahwa musafir tersebut boleh bertayamum seketika itu karena ketidakmampuannya mendapati air secara nyata dan menurut madzhab ia tidak wajib mengulangi sholatnya lagi.

e. Termasuk sebab yang memperbolehkan tayamum adalah ketika air berada di tempat yang dekat dengan musafir, tetapi jika ia mendatangi tempat tersebut, ia kuatir  atas keselamatan dirinya sendiri dari binatang buas atau musuh yang berada di samping air, atau ia kuatir atas hartanya yang sedang ia bawa atau yang ia tinggal dari penggosob atau pencuri, atau misal ia berada di perahu yang andaikan ia hendak menggunakan air maka ia akan tercebur ke laut, maka dalam keadaan semua ini ia diperbolehkan tayamum.

Ketika musafir kuatir tertinggal oleh rombongannya, maka apabila ia akan tertimpa bahaya jika mendatangi air maka ia secara pasti diperbolehkan tayamum, sebaliknya apabila ia tidak akan tertimpa bahaya jika mendatangi air maka boleh tidaknya tayamum baginya masih terdapat perselisihan ulama, pendapat rojih menyebutkan bahwa ia boleh bertayamum karena kegelisahannya.

Sakit

Sebab kedua yang memperbolehkan tayamum adalah sakit.

Sakit dibagi menjadi tiga macam, yaitu;

a. Sakit yang jika melakukan wudhu (menggunakan air) maka dikuatirkan akan menyebabkan mati, hilangnya anggota tubuh, dan hilangnya fungsi anggota tubuh. 

Begitu juga, ketika seseorang mengidap penyakit yang tidak mengkuatirkan, tetapi ia hanya kuatir jika menggunakan air maka penyakitnya itu akan menjadi penyakit yang mengkuatirkan. Maka dalam semua kondisi tersebut, ia diperbolehkan tayamum.

b. Sakit yang jika menggunakan air untuk bersuci maka rasa sakitnya tersebut akan bertambah parah meskipun tidak bertambah masa perkiraan sembuh, atau sakit yang jika menggunakan air untuk bersuci maka masa perkiraan sembuh akan bertambah lama meskipun rasa sakitnya tidak bertambah, atau sakit yang jika menggunakan air untuk bersuci maka dikuatirkan sakitnya tersebut akan menjadi dhini, yaitu sakit yang hampir mendekati kematian,  atau sakit yang jika menggunakan air untuk bersuci maka akan dikuatirkan menyebabkan cacat buruk, seperti; hitam-hitam pada anggota tubuh yang nampak semisal wajah atau anggota-anggota tubuh yang biasanya terlihat pada saat mahnah atau menjalankan aktifitas, MAKA dalam kondisi- kondisi semacam ini terdapat perselisihan antara ulama tentang boleh tidaknya tayamum. 

Pendapat rojih menyebutkan bahwa diperbolehkan tayamum dalam kondisi- kondisi tersebut. Penyakit yang menyebabkan cacat buruk adalah penyakit yang memperburuk keadaan fisik dan rasa sakitnya terus menerus menyerang sehingga disamakan dengan rusaknya anggota tubuh.

c. Sakit yang jika menggunakan air untuk bersuci maka akan dikuatirkan menyebabkan munculnya cacat ringan, seperti; bekas jerawat atau hitam-hitam sedikit, atau akan dikuatirkan cacat berat yang menimpa bagian anggota tubuh yang tidak nampak, atau sakit yang jika menggunakan air untuk bersuci maka tidak akan dikuatirkan adanya bahaya setelahnya meskipun merasakan sakit saat sedang menggunakan air tersebut sebab luka, dingin, atau panas, MAKA dalam kondisi-kondisi sakit seperti tidak diperbolehkan tayamum secara pasti tanpa ada perselisihan pendapat di kalangan ulama.

[Cabang]

Dalam mengetahui parah tidaknya penyakit jika dikenai air, orang sakit boleh berpedoman dengan perkataan dokter yang adil riwayat, atau boleh mengamalkan pengetahuan yang ia miliki sendiri tentangnya sekiranya ia adalah orang yang tahu tentang ilmu pengobatan. 

Menurut pendapat muktamad, orang sakit tidak boleh mengamalkan hasil eksperimennya sendiri tentang cara pengobatan sebab perbedaan tabiat akibat perbedaan masa. 

Diperbolehkannya berpedoman pada saran dokter adalah ketika orang sakit tersebut berada di tempat mukim, tidak sedang bepergian. Adapun apabila ia berada di suatu wilayah yang tidak ditemui satu dokter pun disana maka ia boleh bertayamum sekiranya ia menyangka (dzon) kalau penyakitnya akan menjadi lebih parah jika menggunakan air, tetapi ia wajib mengulangi sholatnya. 

Adapun sangkaannya tersebut dengan kondisi tidak ditemui satu dokter pun merupakan perkara yang memperbolehkan tayamum, bukan perkara yang menggugurkan sholat sehingga tetap diwajibkan mengulangi sholatnya.

Butuh Air

Sebab ketiga yang memperbolehkan tayamum adalah air yang tersedia dibutuhkan untuk memenuhi rasa haus hewan yang muhtarom atau dimuliakan. 

Pengertian hewan muhtarom adalah hewan yang haram membunuhnya, seperti yang dikatakan oleh Nawawi dalam kitab al-Idhoh.

Apabila seseorang mendapati air, tetapi ia butuh air tersebut untuk memenuhi rasa hausnya sendiri, atau temannya, atau binatangnya, atau hewan muhtarom lain, maka ia bertayamum dan tidak perlu berwudhu dengan air tersebut, baik rasa haus tersebut dirasakan pada hari itu juga atau hari setelahnya sebelum ia sampai mendapati air lain. 

Para ashab kami mengatakan bahwa dalam kondisi seperti ini, ia diharamkan berwudhu dengan air tersebut karena mempertahankan nyawa adalah lebih dianjurkan. 

Lagi pula, minum pada saat itu tidak bisa digantikan oleh selainnya sedangkan wudhu masih dapat digantikan dengan selainnya, yaitu tayamum.

Mandi dari jinabat, haid, dan lainnya adalah seperti wudhu dalam rincian hukum tayamum karena butuhnya pada air seperti yang telah kami sebutkan. 

Begitu juga, diperbolehkan tayamum karena air yang tersedia dibutuhkan untuk memenuhi haus orang lain, baik orang lain tersebut adalah temannya sendiri atau seseorang dari kafilah. 

Pengertian kafilah adalah musafir dan para penunggang kendaraan. 

Apabila pemilik air yang sedang tidak kehausan enggan memberikan airnya kepada orang lain, sedangkan disana ada orang lain yang mudh-tir (sangat membutuhkan)-nya karena kehausan, meskipun pemilik tersebut akan membutuhkan airnya sendiri di waktu belakangan, maka diperbolehkan bagi orang lain yang mudh- tir tersebut merebut air dari si pemilik secara paksa, maksudnya si mudh-tir wajib menanggung biaya harga air dan ia boleh memerangi si pemilik demi mendapat air.

Apabila salah satu dari si pemilik atau si mudh-tir terbunuh, maka; jika yang terbunuh adalah si pemilik air maka si pemilik air tersebut adalah orang yang tersia-siakan darahnya sehingga membunuhnya tidak menetapkan adanya qisos, diyat, atau kafarat sebab si pemilik adalah orang yang dzalim yang enggan memberikan airnya kepada si mudh-tir. jika yang terbunuh adalah si mudh-tir maka si pemilik ditetapkan menanggung qisos, diyat, atau kafarat, sebab si mudh-tir dibunuh tanpa ada alasan yang haq.

Apabila pemilik air membutuhkan air yang tersedia untuk memenuhi rasa hausnya sendiri maka ia sendirilah yang didahulukan untuk dipenuhi daripada selainnya.

Apabila orang lain membutuhkan air tersebut untuk berwudhu, sedangkan pemilik tidak membutuhkannya, maka pemilik tidak wajib memberikan air tersebut kepada orang lain itu. 

Sementara itu, si orang lain tidak diperbolehkan merebutnya secara paksa dari si pemilik sebab ia masih memungkinkan mengganti wudhu dengan tayamum.

Ketahuilah. 

Sesungguhnya terkadang seseorang membutuhkan air yang tersedia untuk memenuhi rasa hausnya sendiri pada saat itu juga atau saat nanti, atau memenuhi rasa haus temannya, atau hewan muhtarom meskipun sedang tidak bersamanya sekalipun pada kondisi membutuhkannya untuk yang kedua kalinya sebelum mereka sampai pada air lain yang tersedia. Maka ia wajib bertayamum dan sholat dan tidak perlu mengulangi sholatnya lagi karena ia tidak mendapati air secara syariat.

Apabila seseorang tidak mendapati air atau mendapati air tetapi air tersebut dijual dengan harga misilnya dan ia memiliki biaya harga misilnya melebihi dari apa yang ia butuhkan untuk pergi dan pulang maka wajib atasnya membelinya. 

Namun, apabila air tersebut dijual dengan harga yang lebih banyak daripada harga misilnya maka ia tidak wajib membelinya karena air dapat diganti dengan debu,  baik harga lebihnya tersebut sedikit atau banyak, tetapi ia disunahkan membelinya. 

Yang dimaksud dengan harga misil disini adalah harga air menurut wilayah yang ia tempati pada saat itu.

Sama dengan kondisi butuhnya seseorang pada air adalah butuhnya pada harga air untuk membiayai dirinya sendiri atau keluarganya.

 Hisni berkata bahwa apabila seseorang mati dan ia memiliki air, tetapi teman-temannya merasakan kehausan maka mereka meminum air tersebut dan mentayamumi mayit. 

Mereka wajib menanggung harga biaya air tersebut dan menjadikan harga biaya air tersebut ke dalam harta warisannya. 

Pengertian harga air disini adalah harga air menurut tempat dimana air tersebut digunakan pada saat itu.


Posting Komentar untuk "Inilah Sebab Seseorang Diperbolehkan untuk Tayamum"