Hal Yang Diharamkan Bagi Orang Junub
Perkara-perkara yang Diharamkan Sebab Hadas Sedang (Ausat) - Setelah kita membahas hal yang diharamkan sebab hadats kecil. pada artikel ini kita akan membahas tentang perkara yang diharamkan sebab hadats sedang.
Diharamkan atas orang junub, yaitu orang yang menanggung hadas sedang, 6 (enam) perkara, yaitu;
Sholat
Maksudnya, orang junub diharamkan melakukan sholat karena berdasarkan hadis, “Allah tidak akan menerima sholat yang tidak disertai suci dan tidak akan menerima sedekah dari harta haram.
Nawawi berkata, “Ketika orang junub tidak mendapati air dan debu maka ia melakukan sholat karena lihurmatil waqti yang sesuai dengan keadaannya. Ia diharamkan membaca al-Quran di luar sholat. Sedangkan ketika di dalam sholat, ia diharamkan membaca bacaan al-Quran yang melebihi Surat al-Fatihah.
Pertanyaannya, apakah ia diharamkan membaca Surat al-Fatihah? Jawaban dari pertanyaan ini terdapat dua wajah.
Pertama, menurut pendapat shohih yang dipilih, ia tidak diharamkan membaca Surat al-Fatihah di dalam sholat, bahkan ia wajib membacanya karena sholat tidak akan sah tanpa disertai membaca Surat-al-Fatihah dan karena sebagaimana ia diperbolehkan sholat karena dhorurot padahal disertai menanggung jinabat maka ia diperbolehkan membaca Surat al-Fatihah.
Pendapat kedua, ia tidak diperbolehkan membaca Surat al-Fatihah di dalam sholat, tetapi ia menggantinya dengan dzikir- dzikir sebagaimana yang dibaca oleh musholli yang tidak hafal sama sekali ayat al-Quran, oleh karena orang junub yang tidak mendapati air dan debu ini adalah orang yang tidak mampu menurut syariat maka ia menjadi seperti orang yang tidak mampu menurut kenyataannya. Yang benar adalah pendapat yang pertama.”
baca juga: cara mandi junub yang benar
Towaf
Maksudnya, orang junub tidak diperbolehkan towaf karena berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Hakim, “Towaf di Ka’bah adalah sholat,” maksudnya seperti sholat dalam hal kewajiban menutup aurat dan bersuci.
Menyentuh Mushaf
Orang junub tidak diperbolehkan menyentuh mushaf. Nawawi berkata, “Ketika orang junub atau muhdis (orang yang menanggung hadas) menulis mushaf di kertas, maka apabila ia sambil membawa dan menyentuh kertas pada saat menulis maka hukumnya adalah haram, tetapi apabila ia tidak membawa dan menyentuh kertas pada saat menulis maka terdapat tiga wajah pendapat; yaitu pendapat pertama yang shohih menyebutkan boleh bagi orang junub dan muhdis, pendapat kedua menyebutkan boleh bagi muhdis saja, dan pendapat ketiga menyebutkan boleh bagi orang junub saja.”
Membawa Mushaf
Orang junub tidak diperbolehkan membawa mushaf karena membawanya lebih parah daripada menyentuhnya. Jadi, bagi orang junub, membawa mushaf adalah haram berdasarkan pengqiyasan aulawi.
Nawawi berkata, “(Diharamkan atas orang junub membawa mushaf), baik membawanya disertai penghalang berupa sampulnya atau lainnya.”
Orang junub diperbolehkan menggendong orang lain yang membawa mushaf. Dalam masalah ini, tidak berlaku rincian-rincian yang telah disebutkan dalam hal membawa mushaf beserta barang- barang lain, karena dengan menggendong orang lain tersebut, orang junub tidak bisa dianggap sebagai pembawa mushaf meskipun ia qosdu atau menyengaja mushaf. Jadi, dalam kasus ini, tidak ada ibroh bagi qosdunya itu.
Apabila seseorang membawa mushaf beserta buku lain dalam satu jilidan maka hukum membawanya adalah seperti hukum membawa mushaf bersamaan dengan barang-barang lain dalam hal rincian yang telah disebutkan sebelumnya dengan dinisbatkan pada perbuatan membawa.
Adapun menyentuh, maka diharamkan menyentuh jilidan yang menghadap ke mushaf, bukan jilidan lain yang tidak menghadapnya. Alasan diharamkan menyentuh jilidan mushaf tersebut, padahal jilidan tersebut adalah penghalang, lagi pula menyentuh dari belakang mushaf sama sekali tidak berpengaruh sebagaimana menyentuh alat kelamin dari balik penghalang tidak membatalkan wudhu, adalah karena dalam menetapkan keharaman menyentuh disini terdapat unsur mengagungkan mushaf.
Oleh karena ini, diharamkan menyentuh mushaf dari balik penghalang karena menunjukkan sikap lebih mengagungkannya.
Adapun batalnya wudhu sebab menyentuh alat kelamin adalah karena dapat membangkitkan syahwat, sedangkan syahwat sendiri tidak bisa muncul disertai adanya penghalang, sehingga menyentuh alat kelamin disertai adanya penghalang tidak memberikan pengaruh terhadap batalnya wudhu.
Tidak wajib melarang anak kecil (shobi) yang tamyiz meskipun ia sedang menanggung junub dari membawa dan menyentuh mushaf karena ada tujuan belajar dan karena sulitnya anak kecil tersebut untuk selalu menetapi suci dari hadas. Jadi, ketidak wajiban melarangnya disini adalah ketika membawa dan menyentuhnya tersebut bertujuan untuk dirosah.
Syabromalisi berkata, “Berbeda dengan masalah memberikan kuasa kepada anak kecil (shobi) untuk melakukan sholat, towaf, dan lain-lainnya disertai ia menanggung hadas, (maka wajib dilarang).”
Diharamkan memberikan kuasa kepada anak kecil (shobi) yang belum tamyiz untuk mendekati semisal mushaf meskipun hanya sebagian ayat karena mengandung unsur ihanah atau menghina.
Baca juga: sebab sebab mandi wajib
(Faedah)
Nawawi berkata dalam kitabnya at-Tibyan, “Orang kafir tidak boleh dilarang atau dicegah dari mendengarkan al-Quran karena berdasarkan Firman Allah, ‘Dan jika seorang di antara kaum musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar Firman Allah.’39 Orang kafir dilarang atau dicegah dari menyentuh mushaf.
Pertanyaannya, apakah diperbolehkan mengajarinya al-Quran? Jawaban dari pertanyaan ini, para ashab kami berkata, ‘Apabila tidak diharapkan keislamannya maka tidak boleh mengajarinya al-Quran.
Dan apabila diharapkan keislamannya maka ada dua wajah pendapat; pendapat pertama yang paling ashoh menyebutkan boleh mengajarinya karena mengharapkan keislamannya, dan pendapat kedua menyebutkan tidak boleh mengajarinya sebagaimana tidak boleh menjual mushaf kepadanya meskipun diharapkan keislamannya.
Adapun ketika kami melihat orang kafir belajar al-Quran, maka apakah ia dicegah atau tidak? Jawaban dari pertanyaan ini juga terdapat dua wajah pendapat.”
Berhenti Sebentar di Masjid (al-Lubts)
Orang junub tidak diperbolehkan berhenti sebentar (al- Lubts) di masjid. Maksudnya, orang junub yang muslim, yang baligh, yang selain nabi tidak diperbolehkan al-lubts di masjid.
Pengertian masjid adalah setiap bidang tanah atau bangunan yang diwakafkan untuk sholat. Keharaman al-lubts atas orang junub adalah meskipun berhentinya seukuran dengan lamanya tumakninah.
Berbeda dengan ‘ubur atau melewati masjid, maka tidak diharamkan atasnya. Pengertian ‘ubur adalah masuk dari pintu tertentu dan keluar dari pintu lain. Berbeda dengan masalah apabila masjid hanya memiliki satu pintu saja, maka orang junub tidak diperbolehkan memasukinya.
Adapun taroddud (mondar-mandir) di masjid bagi orang junub adalah haram karena seperti berdiam diri.
Allah berfirman, “Janganlah kamu mendekati sholat sedangkan kamu dalam keadaan mabuk sampai kamu mengetahui apa yang kamu katakan dan janganlah kamu mendekati sholat sedangkan kamu dalam keadaan sebagai orang junub sampai kamu mandi (terlebih dahulu), kecuali mereka yang hanya melewati jalan,”40 maksudnya, janganlah kamu mendekati tempat sholat pada saat kamu dalam keadaan mabuk dan janganlah kamu mendekati tempat sholat pada saat kamu dalam keadaan junub.
Namun, orang junub diperbolehkan al-lubts di dalam masjid karena dhorurot, seperti; ia tidur di masjid, kemudian ia bermimpi basah dan kesulitan keluar dari sana karena takut dengan ‘asas atau orang-orang yang sedang ronda di malam hari (semisal; takut disangka oleh mereka sebagai pencuri) atau dengan yang lainnya, tetapi ia wajib tayamum jika memang mendapati debu yang selain debu masjid.
Adapun debu masjid, yaitu debu yang termasuk dari sifat kewakafan masjid sekiranya masjid masih berlantai tanah, maka diharamkan bertayamum dengannya tetapi sah tayamumnya. Arti kata ‘asas adalah penjaga yang berkeliling ronda di malam hari.
Andaikan suami menjimak istrinya di masjid tetapi dengan cara jimak sambil berjalan maka tidak diharamkan sebab tidak ada aktifitas berhenti sebentar atau berdiam diri. Adapun apabila mereka berdua berdiam diri di dalam masjid karena udzur maka suami tidak boleh menjimak istri.
Termasuk bagian dari masjid adalah loteng, serambi, jendela atap, tembok, dan bangunan di bawah tanah masjid.
Dikecualikan dengan masjid adalah musholla atau tempat sholat hari raya, madrasah; yakni tempat yang digunakan untuk proses belajar mengajar oleh syeh dan para santri, dan pondokan; yakni rumah yang dibangun untuk ditempati oleh para fakir dan para santri atau rumah yang dibangun sebagai tempat ibadah oleh para sufi, atau yang dimaksud dengan pondokan adalah tsughur, yaitu tempat yang dikhawatirkan mendapat serangan musuh.
Adapun anak kecil (shobi) yang junub, maka diperbolehkan bagi wali memberinya kuasa untuk berdiam diri di dalam masjid sebagaimana diperbolehkan bagi wali memberinya kuasa untuk membaca al-Quran.
Adapun Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama, maka beliau diperbolehkan berdiam diri di masjid dalam kondisi junub karena termasuk salah satu dari keistimewaan-keistimewaan beliau dan karena keberadaan beliau di masjid sangat dibutuhkan untuk menyebar luaskan Sunah, dan karena dzat beliau adalah lebih utama daripada dzat masjid. Akan tetapi, belum pernah terjadi kalau beliau berdiam diri di masjid dalam kondisi junub.
Adapun orang kafir, ia tidak dilarang untuk berdiam diri di dalam masjid dalam kondisi junub karena ia tidak meyakini keharamannya meskipun sebenarnya diharamkan atasnya karena ia dituntut atas cabang-cabang syariat.
Tidak diperbolehkan atas orang kafir untuk masuk ke dalam masjid meskipun ia tidak dalam kondisi junub kecuali dengan izin dari orang muslim yang baligh serta adanya hajat atau keperluan darinya untuk masuk ke sana. Termasuk kategori hajat atau keperluan adalah ikut duduk bersama qodhi atau mufti di dalam masjid atau meramaikan masjid.
Membaca al-Quran
Orang junub diharamkan membaca al-Quran dengan 7 (tujuh) syarat, yaitu;
1) Membaca dengan cara dilafadzkan, atau bagi orang junub yang bisu dengan cara berisyarat yang memahamkan, karena isyarat dari akhros (orang bisu) dianggap (mu’tad biha) kecuali dalam tiga bab, yaitu;
a. Sholat; oleh karena itu, ketika akhros sholat, kemudian ia berisyarat dengan isyarat yang memahamkan, maka sholatnya tidak batal.
b. Melanggar sumpah; oleh karena itu, ketika seseorang telah bersumpah untuk tidak akan berbicara sama sekali, padahal ia mampu berbicara, lalu ia berubah menjadi bisu, lalu ia berisyarat dengan isyarat yang memahamkan, maka ia tidak dihukumi telah melanggar sumpahnya
c. Syahadah atau bersaksi; oleh karena itu, ketika akhros bersyahadah dengan cara berisyarat maka syahadahnya tidak dapat diterima.
Isyarat dari natiq (orang yang dapat berbicara) tidak dianggap (mu’tad biha) kecuali dalam 3 (tiga) bab, yaitu:
a. Akad aman bagi natiq kafir.
b. Iftak atau berfatwa, misal; natiq ditanya, “Apakah kamu berwudhu dengan air ini?” Kemudian natiq berisyarat dengan menganggukkan kepala (Iya) atau menggelengkannya (tidak).
c. Meriwayatkan hadis, misal; natiq ditanya, “Apakah kami meriwayatkan hadis ini darimu?” natiq menjawab dengan berisyarat menganggukkan kepala (Iya) atau menggelengkannya (tidak).
Dikecualikan dengan pernyataan membaca dengan cara dilafadzkan adalah membaca al-Quran dengan cara dibatin, maka tidak diharamkan atas orang junub.
2) Orang junub yang membaca al-Quran dapat mendengar suara bacaannya sendiri. Oleh karena itu, dikecualikan ketika ia melafadzkan bacaan al-Quran, tetapi ia tidak mendengar suara bacaannya sendiri, sekiranya pendengarannya berkemampuan sedang dan tidak ada manik atau penghalang (spt; ramai, gaduh, dll).
3) Orang junub adalah orang muslim. Oleh karena itu, dikecualikan ketika orang junub adalah orang kafir, maka ia tidak dilarang membaca al-Quran dalam kondisi junub karena ia tidak meyakini keharaman membacanya meski ia kelak akan disiksa sebab telah membaca al-Quran dalam kondisi junub.
4) Orang junub adalah orang yang mukallaf (baligh dan berakal). Oleh karena itu, dikecualikan dengannya yaitu anak kecil (shobi) dan majnun.
5) Bacaan yang dibaca adalah al-Quran, sekiranya ketika orang junub membacanya, ia bisa disebut sebagai pembaca al- Quran. Jadi, dikecualikan dengannya yaitu Taurat, Injil, dan tilawah yang dimansukh meskipun hukumnya masih tetap, seperti ayat rajam;
6) Orang junub membaca al-Quran dengan bermaksud qiroah (membaca) saja, atau bermaksud qiroah dan dzikir, atau bermaksud salah satu dari qiroah atau dzikir tetapi tidak ditentukan manakah yang sebenarnya ia maksud.
Apabila ia membaca satu ayat al-Quran dengan bermaksud ihtijaj atau mengambil dalil maka diharamkan.
Apabila orang junub membaca al-Quran dengan bermaksud dzikir saja atau ia memutlakkan, artinya, ia membaca al- Quran dengan menggerak-gerakkan lisan tanpa memaksudkan salah satu dari qiroah atau dzikir, maka tidak diharamkan karena demikian itu tidak disebut sebagai quran (membaca) karena adanya shorif (perkara yang mengalihkan) kecuali dengan disertai maksud tertentu.
Sebaliknya, apabila tidak ada shorif maka bisa disebut dengan quran meskipun tanpa disertai maksud tertentu.
7) Hukum membaca al-Quran yang dilakukan oleh orang junub adalah sunah. Berbeda, ketika hukum membacanya adalah wajib, baik di dalam sholat atau di luarnya.
Adapun bacaan al-Quran yang wajib di dalam sholat adalah seperti; faqid at-tuhuroini (orang yang tidak mendapati dua alat bersuci, yaitu air dan debu).
Oleh karena itu, bagi si faqid, tidak ada bedanya antara ia menyengaja qiroah atau memutlakkan karena ketika dimutlakkan, bacaannya tetap disebut sebagai quran sebab adanya kewajiban sholat atasnya (lihurmatil waqti), sehingga manik (yakni jinabat) tidak dianggap atau tidak mu’tabar.
Adapun bacaan al-Quran yang wajib di luar sholat adalah seperti; seseorang telah bernadzar akan membaca Surat Yaasin di waktu tertentu, lalu ternyata ia menanggung jinabat pada waktu tersebut dan dalam kondisi sebagai faqid at-tuhuroini, maka ia wajib membaca Surat Yaasin sebab dhorurot, tetapi dengan maksud qiroah (quran), bukan memutlakkan, dan tidak ada hukum keharaman atasnya. Contoh ini tidaklah sama dengan rincian hukum keharaman dalam membaca al-Fatihah atas orang junub di luar sholat sebab ada faktor bernadzar.
Posting Komentar untuk "Hal Yang Diharamkan Bagi Orang Junub"